Tanggal 10 Dzulhijjah adalah momentum agung
dan bersejarah bagi umat Islam. Di hari ini, umat Islam merayakan hari raya
Idul Adha atau dikenal dengan istilah Idul Qurban. Gema takbir bersahut-sahutan
tiada henti memenuhi langit yang luas tinggi menjulang di hari itu. Hati yang
suci pun bergetar mendengar lantunan takbir oleh lebih dari 1,7 milyar manusia
di seluruh pelosok bumi yang luas membentang. Sementara jutaan yang lain sedang
membentuk lautan manusia di tanah suci Mekkah untuk sebuah ritual haji yang
suci, menjadi panorama menakjubkan yang menggambarkan eksistensi manusia di
hadapan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Benar-benar menjadi refleksi bahwa
memang tidak ada yang agung dan layak untuk disembah kecuali Allah, Rabb
semesta alam. Allahu Akbar.
Setiap kali sampai pada momen Idul Qurban,
kita diingatkan kembali akan kisah agung keluarga Ibrahim alaihissalaam. Kisah
yang penuh teladan bagi segenap manusia di sepanjang zaman. Kisah keluarga yang
telah menjadi legenda sejak lebih dari 5000 tahun silam. Keluarga yang telah
berhasil membangun dan menanamkan aqidah yang kokoh pada segenap sendi-sendi kehidupan.
Ibrahim, Hajar dan Ismail adalah potret anggota keluarga yang sempurna dalam
pengabdian dan penghambaannya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Sebuah
keluarga yang benar-benar menunjukkan
kualitas prima dalam bertauhid secara luar biasa.
Ibrahim berkali-kali diuji dengan berbagai
ujian berat yang memerlukan pengorbanan yang sangat besar.
Kita masih ingat, bagaimana Ibrahim teramat
sangat merindukan kehadiran seorang anak. Di usianya yang sudah renta, Allah
Subhaanahu wa Ta’ala belum juga menganugerahinya keturunan. Ujian berat bagi
Ibrahim. Sementara Sarah, istrinya yang juga sudah tua, tidak kunjung
menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Bagi seorang Ibrahim, sang kekasih Allah,
anak bukanlah sekadar pelanjut keturunan, anak juga menjadi pewaris risalah
kenabiannya.
Bisa dibayangkan, suasana seperti apakah
yang mewarnai kehidupan keluarga yang sudah lama berumah tangga tanpa tangis
dan kehadiran seorang bayi? Sepi, berselimut sunyi. Ya, hampir pasti, hari-hari
seperti itulah yang dijalani pasangan Ibrahim dan Sarah ketika itu. Apakah
Ibrahim putus asa? Oh, tidak. Ibrahim tentu saja tidak putus asa dengan kondisi
ini. Ibrahim tidak putus-putusnya terus berdoa kepada Allah Ta’ala agar
dikaruniai keturunan. “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang
termasuk orang-orang yang shalih” (Terjemahan QS. Ash-Shaffaat: 100).
Selang beberapa waktu yang lama, sejarah
mengabarkan, melalui Hajar, isteri Ibrahim yang lain, Allah Subhaanahu wa
Ta’ala akhirnya menganugerahi Ibrahim keturunan, Ismail alaihissalaam. Bayi laki-laki
yang telah teramat lama didambanya. Sejuta doa dan harapan tumpah-ruah kepada
sang bayi. Kasih dan sayang tercurah bagi penyambung risalah dan keturunan,
Ismail kecil. Hari-hari bagai dipenuhi pelangi. Warna-warni indah senantiasa
mengiringi. Senyum dan tawa bahagia setiap saat pecah menghiasi kehidupan
keluarga agung ini.
Namun, Allah Subhaanahu wa Ta’ala ingin menguji cinta Ibrahim kepada
Rabbul-izzati. Adakah cinta kepada Allah itu adalah cinta yang tidak
tertandingi? Atau jangan-jangan Ismail yang amat dirindukannya itu menjadi
pesaing cinta Ibrahim kepada Tuhannya yang Maha Suci? Di sini, Allah kembali
menguji Ibrahim. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” (Terjemahan QS. Ash-Shaffaat : 102).
Perasaan seperti apakah yang menyelimuti
Ibrahim saat mendapat perintah menyembelih Ismail, putra yang amat dikasihinya
itu? Dari ujian ini, Ibrahim menghadapi dua pilihan, mengikuti perasaan hatinya
dengan “menyelamatkan” Ismail buah cinta keluarga, atau menaati perintah Allah
dengan “mengorbankan” putra kesayangannya.
Dan ternyata, sejarah mencatat, Ibrahim dan
keluarganya akhirnya lulus dalam ujian ini. Ia lulus dengan predikat yang amat
sangat istimewa. Pantaslah, Ibrahim menyabet predikat khaliilullah. Apa yang
membuat Ibrahim dan keluarganya kuat menghadapinya? Jawabannya adalah karena
Ibrahim mampu merealisasikan kehambaannya kepada Allah secara murni (tauhid
uluhiyah) dan pada saat yang sama, Ibrahim juga mengejawantahkan sebuah nilai
suci dalam sikap hidup bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, bersifat mutlak,
yang mengatur alam semesta (tauhid rububiyah) sehingga segala sesuatu yang
selain Allah merupakan makhluk yang tidak memiliki hak sedikit pun untuk
diperlakukan sebagai Tuhan atau disikapi seperti Tuhan. Artinya, keberadaan
makhluk tidak sepatutnya menjadi penghalang untuk tunduk dan patuh kepada Sang
Khalik.
Situasi seperti inilah yang sejatinya
setiap saat kita hadapi dalam hidup sehari-hari. Mengutamakan Allah dan
Rasul-Nya, atau memilih tetap menggenggam “Ismail-Ismail” lain di sekeliling
kita. Meski lidah kita sering mengatakan, “Ini adalah karunia Allah”, namun
praktiknya kita sering merasa menjadi “pemilik” karunia itu. Akhirnya, kita pun
sulit mengorbankannya untuk Allah dan Rasul-Nya.
Dari kisah Ibrahim, Hajar dan Ismail
inilah, Allah kemudian mensyariatkan kepada kita ibadah Qurban. Dari sosok
Ibrahim pula, Allah Subhaanahu wa Ta’ala
menunjukkan kepada kita sosok teladan, ikutan dan contoh dalam menyembah
kepada-Nya. Kepada sosok beliaulah kita wajib mencontoh. Perhatikan ketika
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman tentang Ibrahim, “Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan
hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
(Tuhan). (Lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan
menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di
dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang
shalih. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : “Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan” (Terjemahan QS. An Nahl : 120-123).
Berqurban tidaklah semata-mata menyembelih
hewan pada waktu itu. Di balik itu semua, tersimpan sesuatu yang berharga.
Sesuatu yang menjadikan qurban itu menjadi sah, bahkan menjadi syarat bagi
ibadah-ibadah lainnya. Dia adalah tauhid, beribadah ikhlas semata untuk Allah
Subhaanahu wa Ta’ala. Perhatikanlah ketika Allah Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman, “Katakanlah : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)” (Terjemahan QS. Al An’am : 162-163). Juga
firman-Nya, “Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan
(qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
dirizkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena
itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah khabar gembira kepada
orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (Terjemahan QS. Al Hajj : 34).
Dari ayat-ayat ini, jelas bagi kita bahwa kurban membawa visi dan misi tauhid,
peng-Esa-an kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, merayakan hari raya qurban
sejatinya adalah merayakan kemenangan tauhid di atas kesyirikan. Bersama
kucuran darah hewan qurban, kita korbankan segala kepentingan dunia, demi
memenuhi panggilan dan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Segala bentuk
ketaatan, kita letakkan di bawah ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala,
persis seperti yang telah dicontohkan oleh sosok Ibrahim alaihissalaam. Dengan
berqurban, kita menjadi dekat kepada-Nya dengan ketakwaan. Allah Subhaanahu wa
Ta’ala berfirman, “Daging-daging (unta)
dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridlaan Allah, tetapi
ketakwaan darimulah yang dapat mencapainya….” (Terjemahan QS. Al Hajj :
37). Wallahu a’lam.[]
Oleh: Azwar Iskandar, SE.
Sumber dari:
https://wahdah.or.id/spirit-tauhid-dalam-ibadah-qurban/
0 Comments